PERAN TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN DI MASA DEPAN DAN TANTANGANNYA

Kamis, 06 Oktober 2011
Tanpa kita sadari, telah terjadi pergeseran nilai-nilai paradigma. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah, dikeluarkannya peraturan perundang-undangan, PP No. 25 Tahun 1980, kemudian disusul dengan dikeluarkannya empat peraturan Permenkes No. 224/Menkes/SK/V/1990, yang merupakan bagian dari paket Mei 1990; keempat peraturan Menteri tentang Perapotikan yang telah dikeluarkan tahun 1981 dicabut. Peraturan Menteri Kesehatan No. 224/Menkes/SK/V/1990; Bab VII, pasal 23 ayat (1), merupakan peraturan pelaksana dari PP No. 25 tahun 1980 yang paling “Gres”. Disebutkan bahwa: “Dalam pelaksanaan pengelolaan apotik, apoteker pengelola apotik dapat dibantu oleh asisten apoteker. Penulis kurang tahu persis apa maksud frase “dapat dibantu” pada peraturan ini. Yang jelas, menurut kamus bahasa Indonesia yang standar, dapat dibantu berarti bahwa bila dibantu ya boleh, bila tidak dibantu ya tidak apa-apa. Singkat kata, prase “dapat dibantu” bersifat netral dan hukumnya mubah (mubah adalah suatu perbuatan, yang bila dilakukan tidak mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa, dan juga sebaliknya). Mungkin perlu dikemukakan disini, bahwa dengan adanya paket Mei 1990 (deregulasi bidang farmasi), khususnya perapotikan, maka keempat peraturan pelaksanaan dari PP No. 225 tahun 1980, yang terdiri dari : Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 26/Menkes/SK/V/1981, tentang pengelolaan dan perijinan apotek, keputusan Menteri Kesehatan RI No.278/Menkes/SK/V/1981, tentang persyaratan apotek, keputusan Menteri Kesehatan RI No. 279/Menkes/SK/V/1981, tentang ketentuan dan tata cara perizinan apotek dan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/SK/V/1981, tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan apotek, sudah dicabut dan diganti dengan peraturan Menteri Kesehatan RI No. 244?Menkes/SK/V/1990 tentang ketentuan tata cara pemberian izin apotek, yang mana sesuai dengan Permenkes ini profesi AA hanya disebut pada pasal 23. Peranan AA ini tetap dominan, sampai akahirnya dikeluarkan Undang-undang No.6 Tahun 1963, bahwa tenaga farmasi, yakni AA dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian harus berada dibawah pengawasan tenaga tenaga kesehatan sarjana, yaitu apoteker. Bila dilihat dari kacamata Asisten Apoteker, maka era sebelum tahun 1963 merupakan era keemasan bagi Asisten Apoteker, karena AA mempunyai kedudukan yang dominan dalam memerankan peranan sebagai pengelola perbekalan farmasi. Kalau sekarang AA ini dapat menjalankan profesinya agak tersisih dan tergeser adalah wajar-wajar saja. Itu semua berkat perkembangan dan kemajuan yang semakin canggih dan profesionalisme dalam bidang Kefarmasian. Seperti kita maklumi bersama, di Indoensia dikenal sebagai tenaga para medis seperti: perawat, bidan, perawat gigi, analisis kesehatan dan asisten apoteker. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 dan pasal 8 Undang-undang No. 6 Tahun 1963 tentang tenaga kesehatan dalam pasal 7 dan pasal 8 Undang-undang No. 6 Tahun 1963 tentang tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, Asisten Apoteker harus mempunyai Surat Izin Kerja (SIK) yang dikeluarkan oleh Dirjen POM (Badan POM) jadi pekerjaan kefarmasian hak apoteker dan asisten apoteker dimana yang terkahir dalam tanggung jawab pertama. Dalam pasal 10 Permenkes No. 244 dinyatakan bahwa, pekerjaan kefarmasian di apotik meliputi: 1) Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat 2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasilainnya, dan 3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan informasi farmasi. Dalam keadaan pekerjaan kefarmasian seperti tersebut dalam pasal 10 diatas, seorang apoteker dapat dibantu oleh asisten apoteker (sesuai pasal 23 ayat (1)). Dari fakta diatas dapat disimpulkan bahwa pembantu satu-satunya untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotik yang dijamin peraturan perundang-undangan hanyalah asisten apoteker. Walaupun bisa saja tidak diperlukan. Kalau apotik gaya Permenkes No. 244 adalah identik dengan “SOLO PRAKTEK” seorang dokter, dimana perawat membantu menyuntik, mengobati luka, mengukur tensi, dan lain-lain pekerjaan yang tidak mungkin dikerjakan oleh tenaga “bukan perawat”, maka diapotik juga sejogyanyademikian halnya. Peracikan, pencampuran, pemberian etiket dan penyerahan obat adalah hak asisten apoteker dibawah pengawasan apoteker. Masalah ini perlu dikemukakan disini, karena sekarang ini sudah ada fenomena “bukan AA” membantu pekerjaan kefarmasian yang mestinya adalah hak dan kewenangan asisten apoteker, sehingga tenaga asisten apoteker merasa tersaingi dan tergeser. Apalagi, bila jasa pekerjaan tenaga “bukan AA” tersebut melebihi dari jasa pekerjaan asisten apoteker. Walaupun fenomena ini hanya segelintirapotik saja. Namun, bila tidak dengan segera diantisipasi dengan peraturan tingkat Menkes yang mengatur fungsi, hak dan wewenang tenaga asisten apotekerdi apotik, maka tidak diragukan lagi akan semakin memojokkan posisi asisten apoteker Sebagai ilustrasi, bagaimana jika seorang apoteker dalam menjalankan apotiknya sama sekali tidak memperkerjakan tenaga AA. Namun, hanya dibatu tenaga “bukan AA”? Toh, untuk membaca resep, memberi etiket, mencampur dan sebagainya, bisa belajar dalam tempo satu bulan. Dan ini tidak menyalahi aturan! Toh, semua pekerjaan “bukan AA” tersebut akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab apoteker. Inilah lemahnya posisi asisten apoteker pasca deregulasi perapotikan ditinjau dari segi peraturan perundangan. Maka Sebagai Asisten Apoteker kita tetap harus mencari ilmu sebanyak mungkin Dan kita harus menggali potensi yang ada di diri kita supaya kita bisa menjadi Asistent Apoteker yang bisa memaksimalkan apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan mutu Asistent Apoteker, Dan tidak kalah dengan profesi - profesi Kesehatan yang lainnya. (∩_∩)Sem0ga kita βΐşą menjadi Asistent Apoteker Yªπġ Super °\(^▿^)/°*by Mario Teguh* ☆˚◦°•˚◦♥ O:) äмïπ O:) ♥˚◦°•˚◦☆

0 komentar:

Posting Komentar